Soundsations
Istana Maimun, 04 Desember 2018 |
"Siang
ini ke mana? Malam nanti ke mana?”
“Nggak
ke mana-mana. Di rumahlah. Lagian ada murid PPL yang main ke kosan sekarang.”
“Oh.”
Salah
satu murid di tempat melaksanakan praktik mengajar datang ke kosan. Katanya
cuma ingin memberikan oleh-oleh yang baru dibeli ketika berlibur. Gantungan
kunci kayu bentuk vespa dan brush pen
snowman. Siang itu, setidaknya ia sedikit terhibur kedatangan siswinya.
Malam
nanti, ia akan pergi menonton konser band indie
ibu kota yang tampil di kotanya. Sehabis magrib, ia berangkat seorang diri
menuju lokasi dengan menaiki angkot. Setibanya di sana, tak lupa memotret
gambar yang ada. Kala itu, membuat status di WhatsApp
dan Instagram wajib dilakukan. Bintang
tamu belum tampil. Lokasi sudah penuh pengunjung. Ramai dan riuh rendah tanpa
gaduh.
Ia
berencana menonton konser dengan teman adiknya. Berjumpa di lokasi adalah upaya
untuk mereka yang tinggal berjauhan. Mereka datang ketika acara sudah dimulai. Alhasil
ia memilih berdiri tepat di depan panggung. Seorang diri tanpa ada seorang pun
yang dikenalnya. Sebelah kiri laki-laki. Sebelah kanan pun laki-laki. Ia tak
gentar, tetap berdiri kukuh selagi kaki masih kuat.
Bintang
tamu yang dinanti-nanti muncul. Sebelum menaiki panggung, mereka berjalan
persis di sebelah ia berdiri. Sontak suasana menjadi riuh dan lagi tanpa gaduh.
Suara teriakan sahut-menyahut memanggil mereka.
“Bang,
horaaas.”
“Woiii
Bang, selamat datang di kota kami.”
Kali
ketiga baginya menonton konser band indie
di kota ini. Setidaknya selama masih menjadi anak kos, bebas menonton konser
adalah kelebihan yang didapat. Pulang larut malam, acap jadi teman. Sesekali juga khawatir terhadap pandangan
orang. Apalagi budaya patriarki kerap disandingkan dengan perempuan. Anak perempuan
tidak boleh pulang malam. Bahaya. Sementara laki-laki bebas sekehendak mereka.
Baginya tak apa. Sesekali menikmati masa muda hal biasa. Ini hidup saya.
4:20 |
Konser
dimulai. Pelbagai lagu andalan dinyanyikan dengan apik. Tak ada satu pun lirik
lagu yang terlewat dirapalkan. Ia begitu asik menikmati setiap alunan musik yang
didendangkan. Malam itu, ia berbahagia. Menyaksikan penampilan band kesukaannya seorang diri. Konser
usai tepat pukul 23.35 WIB. Lantas, menghubungi adik temannya, di mana ia akan
menginap tidur semalam di sana. Jalan menuju kosannya terlalu menakutkan untuk
pulang dengan jam segitu. Mengingat ia juga pernah terkunci di depan kosan. Ya,
pulang larut kembali jadi teman.
Dengan
memesan transportasi online kami
pulang ke kosan sembari membeli makanan. Efek nonton konser, perut kembali lapar
tak keruan. Sebelum tidur, ia menghidupkan data seluler ponsel yang sejak tadi
dimatikan. Ia tak ingin waktu menonton konser diganggu dengan suara ponsel yang
berisik. Membuka pesan WhatsApp
adalah hal utama. Sebuah pesan dari temannya baru saja masuk. Seketika ia
termengah-mengah dan bingung harus apa.
“Sorry. Tapi, Abang udah nggak bisa tahan
lagi. Abang udah dibohongi hari ini. And
again you ruin my day. I need space now. Kamu bisa pulang dengan tenang
besok. Sampaikan maaf Abang kepada orang tua, terutama Ibu. Abang udah bikin
kecewa. Selamat berlibur. Semoga bertemu penghibur. Selamat tahun baru dan selamat
tinggal.”
Malam
itu, setelah membaca pesan tersebut, untuk menutupkan mata rasanya sangat sukar sekali. Kali kedua menghancurkan hari seseorang. Ia langsung membalas pesan itu
dan bertanya di mana salahnya? Sebegitu fatalnyakah nonton konser sendirian?
Kemudian, menghubungi sepupunya menceritakan yang baru saja terjadi.
“Kamu
nggak jujur mau nonton konser. Kamu nggak minta izin. Makanya dia merasa
dibohongi.”
“Harus
minta izin? Penting minta izin?”
“Bagimu
mungkin tidak. Baginya, itu penting. Besok pagi telepon dan minta maaf
segera!”
“Iya.”
Pagi
ini bangun dengan badan dan hati yang letih. Nonton konser sendirian berharap
menghilangkan kepenatan, yang didapat justru kebalikan. Ia mencoba menghubungi
temannya. Mengajak untuk bertemu minimal sebentar saja. Meminta maaf adalah
solusi yang dipunya. Pesan yang dikirimkan kemarin malam hanya dibaca. Tak ada
balasan yang diterima hingga detik ini. Setelah berulang kali ditelepon, akhirnya panggilan telepon diterima
dengan nada ketus.
Hari
itu, suara yang sering kali dinantikan ketika berbincang, mendadak berubah.
Nada yang tak lagi sama. Tak ada suara tertawa renyah di awal percakapan. Yang diterima
hanya nada pongah dengan jawaban seadanya.
“Bang,
ayo jumpa di kampus sebentar!”
“Mau
ngapain? Bentar lagi mau pergi dengan teman.”
“Ya
ampun, gitu kali. Bentar aja, pleaseee. Jumpa
di gedung A ya.”
“Ya.”
Setelah
15 menit. Sosok yang ditunggu tiba, tanpa senyuman manis yang terpatri di wajahnya.
Sepanjang pembicaraan banyak diam. Respon pun sekadarnya saja. Hari itu beda
sekali. Hari itu, kali pertama ia minta maaf dengan perasaan yang campur aduk.
Takut. Sedih. Malu.
“Bang,
kenapa kirim pesan seperti itu? Kenapa sebegitu marahnya?
“Nggak
jujur. Berbohong. Kemarin ditanya nggak ke mana-mana. Malamnya update status nonton konser.”
“Iya-iya.
Saya salah. Nggak bilang. Toh dibilang pun, pasti nggak mau ikut, kan?”
“Ya
nggaklah.”
“Saya
minta maaf ya. Besok-besok nggak diulangi lagi. Saya dimaafkan, kan?”
“Iya.
Dimaafkan.”
“Terima
kasih, Bang. Sekarang ayo pulang!”
“Sama-sama.
Nggak mau jalan ke mana gitu? Mumpung libur.”
“Haaah?? Cieee
yang udah nggak marah, langsung ngajak jalan nih. Naik kereta api aja gimana?”
“Boleh-boleh.”
(❤ YD)
Cie
ReplyDeleteTiga huruf tok
Delete