Qoyyah


poninya si Idoy melehoi Dunia Terbalik

Balita  ini, makin hari, makin banyak saja kosakata yang hadir dari bibir mungilnya. Celoteh sana pun celoteh sini tak henti dilisankan. Seusai tarawih, seperti biasanya Qoyyah datang ke rumah. Sekadar ingin bermain dengan ibuk dan omnya.

Malam adalah jadwal rutin saya di kedai. Malam ini, bukan Om Udin dan bukan Buoya. Melainkan sayalah yang dipilihnya untuk menjadi teman bermainnya. Ia memilih ikut menjaga kedai dan berjualan. Tentu setelahnya, Qoyyah langsung ber-dia-lo-gue secepat kilat dengan drama yang ia cipta.

Drama pertama

“Buiya itu apo?”

“Kotak ubat, Nak.”

“Oyyah, ndak main doten-doten macam Buk Dewa tuh. Buiya, ecek-eceknyo sakitlah. Biak Oyyah yang ubat Buiya nanti.”

“Haha iyo-iyo. Buk, kaki saya sakit nih. Kena paku. Saya beli obatnya satu ya, Buk.”

“Ini Buk, ubatnya. Halganya lima atus ya, Buk.”

“Ini uangnya, Buk. Sini ubatnya biar saya makan, Buk. Aiii pait ubatnya Buk. Tak ada yang manis ubatnya, Buk? Hidup saya kadung pahit sedari dulu, Buk.”

“Ini Buk, silup manis untuk Ibuk.”

*****

Drama Kedua

Setelah memerankan drama sebagai dokter selesai. Lalu, Qoyyah beralih ke drama berikutnya, yakni jualan kebab.

“Buiya, ini tisu sapo?”

“Ini tisu Om Udin. Ngapo, Nak?”

“Oyyah minta satu yo, Buiya?”

“Ambeklah. Tapi, jangan banyak-banyak yo. Nanti marah Om Udin.”

Sembari berbicara, Qoyyah  melebarkan selembar tisu yang baru saja dimintanya ke saya di atas meja.

“Oyyah ondak buat kebab, Buiya.”

“Haaah? (ngakak) Oyyah ondak jual kebab jugo yo?”

“Iyo, Buiya. Buiya bolilah kebab Oyyah!”

“Aiii, di mano Oyyah tengok uang jual kebab?”

“Di pokan tuh, samo Amik dan samo Pak Lang.”

“Buiyaaa, bolilah kebab Oyyah!”

“Buk, saya beli kebabnya satu ya. Pedas, banyak saus dan dagingnya. Cepat ya, Buk!”

“Ibuk kebabnya pedas? Pakai cabat? Pakai saus? Pakai kecap? Tunggu ya, Buk!”

“Buk, kok lama kali kebab saya siap? Saya mau pulang cepat ini ke rumah. Anak saya dah nangis.”

“Tunggu bental ya, Buk. Masih panas kebabnyo. Ini Buk kebabnya.”

“Berapa total semuanya, Buk? Jangan mahal-mahal ya, Buk.”

“Sepuluh libu alganya, Buk.”

“Ini uang saya ya, Buk.”

*****

 Drama Ketiga

Drama jualan kebab usai. Tanpa sadar, Qoyyah menarik napasnya dalam-dalam. Pikir saya di saat itu, anak ini pasti kehausan. Dari tadi berbagai kalimat diucapkan tanpa jeda. Saya memberikannya minum. Dan benar, air putih yang diberikan seketika habis.

Ketika menoleh ke arah belakang, Qoyyah melihat beragam potong rentengan sampo, kopi saset, SKM, dan detergen yang tersusun di rak. Lagi, ia bertanya dan mengajak saya untuk bermain drama yang lainnya.

“Buiya, itu apo?”

“Yang mano, Nak?”

“Itu yang di belakang, Buiya,” sembari tangannya menunjuk ke arah yang dimaksud.

“Oh. Itu sampo, kopi Wak Bibi, susu, molto dan detergen untuk cuci baju Oyyah.”

“Oyyah pinjam yo, Buiya? Oyyah ondak main jual-jualan.”

“Iyo ambeklah, Nak. Nanti kalau udah siap main disusun lagi yang rapi yo.”

“Iyo, Buiya.”

Kemudian, ia mengambil beberapa potong rentengan yang ada di rak. Secara horizontal, Qoyyah menyusun barang-barang tersebut dengan rapi di atas meja. Bak seorang pedagang yang tengah mengadakan obral. Qoyyah menggelar dagangannya di atas meja. Bersiap menanti orang yang akan membeli barang dagangannya.

“Buiya, Buiya, bolilah jualan Oyyah.”

“Cemano cara Buiya bilang bolinyo samo Oyyah?”

“Gini Buiya bilang samo Oyyah nanti. Aiii ado uang jualan bolilah awak.”

Mendengar Qoyyah berbicara seperti itu, sontak saya tertawa dan mencubit pipinya. Gemas melihat tingkah dan bijaknya ia di saat berbicara. Betapa tidak, anak berumur 3 tahun mengajarkan saya bagaimana dia-lo-gue  yang seharusnya dilafalkan untuk pertama kalinya ketika melihat seseorang berjualan.

Dan lagi, kelucuan berikutnya, Qoyyah menyebut dengan kata ‘awak.’ Alih-alih ia ingat betul, bahwa panggilan diri yang kerap saya ucapkan adalah awak. Lantas, saya menuruti perintah sesuai dengan arahan yang diberikan ke saya.

“Oyyah. Ecek-eceknyo Buiya datangnyo dari luar kodai yo, Nak?”

“Iyo, Buiya.”

“Aiii, ado uang jualan bolilah awak.”

“Beli apa, Buk?’’

“Buk, saya beli sampo satu, susu satu, kopi Wak Bibinya satu.”

“Ini Buk belanjanya.”

“Berapa total semua belanjaan saya, Buk?”

“Ini limo atus, ini sibu, ini sepuluh libu,” sambil memegang sampo dan tak lupa meletakkannya di depan kaleng yang dialihfungsikan olehnya sebagai mesin barcode scanner.

“Sampo yang Oyyah lotak di dokat kaleng tuh biak apo, Nak?”

“Ini yang macam di Indomalet tuh, Buiya.”

“Haha iya, Buk. Berapa totalnya semua, Buk?”

“Totalnya dua libu, Buk.”

“Ini Buk, uangnya. Terima kasih ya, Buk.”

“Sama-sama, Buk.”

Kembali ia meminta minum kepada saya dikarenakan haus yang tak berkesudahan sejak tadi.

“Buiya, Oyyah ondak minum.”

“Kojap yo, Buiya ambek di belakang.

“Iyo, Buiya.”

“Ini minum Oyyah.”

“Glep glep glep. Adoiii, loteh Oyyah, Buiya,” dengan napas ngos-ngosan.

“Iyolah apo tak loteh. Becakap ajo pulak kojo Oyyah dari tadi.”

“Buiya, Oyyah ndak balek. Ndak datang Amik. Rinduuu Oyyah dengan Amik.”

“Haha iyo. Kojap Buiya pakai selop dulu yo, Nak.”


(❤ YD)

Comments

Post a Comment

Popular Posts