Nasib


di Percut Sei Tuan, 2018

Kamu ingat betul. Dua bulan lalu barusan dilantik. Baru saja menerima SK. Ikhtiar dan doa selama ini berujung manis. Kamu jadi abdi negara. Kamu bangga dengan dirimu. Tapi, tidak pongah. Pekerjaanmu adalah cita-cita semua orang. Para orang tua menginginkan anaknya berjodoh denganmu. Pekerjaan ini menjamin masa sekarangmu bahkan sampai tua. Walau kadang tak yakin.

Belum lama, kamu pulang dari kota. Rutinitas yang menyibukkan. Namun, menjanjikan. Kamu tidak suka di kota. Ingar bingarnya berisik. Sekarang kampung adalah rumahmu. Kamu juga tidak begitu suka. Terpencil dan terasing. Semua serba payah. Hari ini, kamu bersiap kembali ke penempatan. Bersiap mengajar anak didik. Kamu abdi negara. Siap membentuk generasi emas. Itu janjimu.

Baru seminggu di sekolah. Semangat masih berkobar bak api. Pandemi mengubah semuanya. Pemerintah meliburkan seluruh sekolah. Anak didik bahagia. Berlibur di rumah tanpa ada PR. Kamu tidak. Tetap wajib ke sekolah adalah tugasmu. Minimal piket. Presensi terus berjalan. Kamu tak boleh alpa. Materi pembelajaran belum tuntas disampaikan. RPP edisi terbaru disimpan. Pun daftar hadir dan nilai anak didik demikian.

Rencana ulangan harian anak didik tinggal kenangan. Anak didik bahagia. Kamu tidak. Pemimpin menganjurkan mengajar dari rumah. Mengajar daring namanya. Kamu dituntut kreatif. Kamu ingat, anak didikmu di wilayah rural belum punya gawai. Hanya beberapa. Kamu pusing. Tuntutan banyak. Selesai mengajar, laporan harian menanti untuk dikirimkan. Kamu bingung. Sekarang mengajar cuma beberapa orang. Tidak banyak orang.

Kamu bosan di sekolah. WiFi seharian nyatanya kian jenuh. Beberapa hari ini, bergoler di indekos adalah impian. Binge watching seharian jadi teman. Tentu setelah menyelesaikan tugas wajib. Presensi dari rumah. Mengajar dari rumah. Laporan harian. Sekarang kamu jemu di indekos. Sendirian di sini membuatmu rindu rumah. Rumah tempat berpulang. Rindu keluarga. Rindu masakan ibu. Rindu membantu bapak di ladang. Kamu ingin bercerita banyak ke mereka.

Jarak ratusan kilometer ditempuh. Sepeda motor temanmu. Tak apa. Asal bersua dengan mereka yang tercinta. Kamu tiba di rumah. Orang tuamu heboh bertanya. Bahagia bertemu mereka. Rindumu lunas. Kini, masakan ibu di depan mata. Tidak perlu berhemat lagi untuk makan. Di sini, hanya perlu bersedekah tenaga. Kamu bahagia bertemu adik-adikmu.

Sebulan di rumah dengan rutinitas yang sama membikin pusing. Sesekali ingin kembali ke perantauan. Kamu rindu mengajar. Rindu bertemu rekan mengajar juga anak didik. Rindu pergi pagi, pulang sore. Rindu nongkrong di minimarket. Makan es krim hingga senja sembari melepas penat. Rindu mengenakan seragam dinas kebanggaan. Pantofel hitam mengilap. Peci hitam yang baru dibeli. Kamu merindukan itu semua.

Hasrat hendak menemui kekasih harus dikubur. Kamu tak boleh ke mana-mana. Bahaya. Kamu mesti patuh. Jika tidak, ada sanksi menanti di akhir. Sedikit demi sedikit niat diurungkan. Padahal berjanji hendak ke sana. Bertemu mereka. Kamu menunggu pandemi reda. Meski tak tahu kapan. Pekerjaan ini mewajibkan untuk taat. Lantas, kamu ingat, kamu abdi negara.

“Jadi, kapan mau balik ke sekolah lagi? Sehabis lebaran, ya?”

“Enggak tahulah. Kalau disuruh datang, ya, datang. Kalau tidak, ya, tetap di rumah aja.”


(❤ YD)

Comments

Popular Posts