Flat Shoes
Merdeka Walk Medan, 2014 |
Pagi ini, agak berbeda dari biasanya untuk seorang Gita. Ia mencoba untuk membuat secangkir kopi saset yang dibelinya kemarin malam sepulang kerja. Ia hanya ingin melenyapkan segala letih di badan juga hatinya setelah bekerja seharian dari pagi hingga malam. Kali kesekiannya ia meneguk minuman yang tengah digemari orang-orang terlebih lagi kawula muda. Meskipun ia tahu, sesudah meminum kopi tersebut kepalanya akan kembali pusing.
Selesai berberes di kos-kosan. Gita bersiap
berangkat kerja. Ia tidak tahu apakah hari ini di tempatnya bekerja kembali mengadakan
lembur. Entahlah. Makin hari ia merasa hidupnya terlalu datar dengan rutinitas
itu terus yang dilakukan setiap harinya. Bahkan kini kamar kosannya yang
ditempati setahun lalu, hanya sekadar tempat merebahkan badan selama beberapa
jam sembari menanti pagi. Esoknya kembali melanjutkan aktivitas. Monoton. Bosan.
Di dalam angkot dirinya harus rela berbagi
tempat duduk dan berdempetan bersama Ibu-ibu yang baru pulang dari pasar dengan
berbagai jenis belanjaan mereka. Seketika suasana di angkot terasa sesak baginya dengan
bermacam bau yang tercipta. Sambil menghibur diri sebelum tiba di tempatnya
bekerja, dengan wajah yang ditutupi masker, tak lupa ia memutarkan playlist lagu kesukaannya dengan volume yang
cukup kuat. Berharap dapat melupakan segala kepenatan yang telah dan akan
terjadi nantinya.
Setibanya di simpang Bank Mandiri, Gita bergegas
untuk mengambil ongkos dari tas ransel hitamnya yang sekarang menjadi saksi betapa kerasnya hidup di perantauan. Dengan uang pas, ia membayar ongkosnya. Sebab jika
ia membayar ongkos dengan uang yang cukup besar nominalnya, tentu ia akan menerima
amukan dari si sopir. Dikarenakan simpang tempatnya berhenti terlalu banyak
polisi yang sedang mangkal. Ya, angkot dilarang berhenti lama-lama di sini.
Sejak saat itu, ia selalu menyiapkan uang pas untuk membayar ongkos angkotnya.
“Paaak, pinggir di simpang ya.”
“Paaak, pinggir di simpang ya.”
“Iya, Dek.”
Gita kembali melanjutkan perjalanan
ke tempatnya bekerja dengan berjalan kaki. Tempat tersebut berada di lokasi
dengan jalan searah, yang menyebabkan angkot tidak boleh masuk ke dalam. Sambil
berjalan kaki, ia bertemu dengan orang-orang yang sama setiap paginya.
Setengah perjalanan ia bertemu dengan kakek penjual koran yang selalu tersenyum
kepadanya. Di saat ingin mengeluh, ia kerap teringat si kakek yang masih
semangat berjualan koran di tengah teriknya kota dengan beragam pernik seperti;
macet, asap, debu dan suara klakson kendaraan.
“Selamat pagi, Nak,’’ ujar si kakek.
“Selamat pagi, Kakek. Oh ya Kek, saya
beli korannya satu ya. Mau dibaca nanti di tempat kerjaan,” balas Gita.
“Ini korannya. Hidup ini jangan
dibuat pelik ya. Bersyukur. Insyaallah berkah.”
“Hehe iya, Kek. Siap. Kakek juga harus
semangat jualannya. Ini uang korannya, sekalian saya ada bawa makanan untuk Kakek.”
“Alhamdulillah. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama, Kek. Saya lanjut jalan
lagi ya.”
Begitu tiba di dekat jembatan yang
menandakan tempatnya bekerja sudah semakin dekat, ia bertemu dengan orang gila
yang sedang tertidur pulas di pinggir jembatan. Pemandangan seperti ini adalah
hal yang lumrah untuknya. Di awal bertemu mereka, ia merasa takut. Sekarang ia
sudah semakin terbiasa dengan pemandangan semacam ini.
Sesampainya di tempat kerjaan, Gita bergegas
meletakkan tasnya dan mengganti flat
shoes hitam yang ia kenakan dengan sandal jepit. Ia lebih suka menggunakan
sandal ketika bekerja. Tugas pertamanya pagi ini adalah membuat postingan
berupa status yang berisi kalimat motivasi di akun media sosial tempatnya
bekerja. Setiap saat status tersebut berhasil terkirim, ia merasa jijik. Menyuruh orang-orang di luar sana agar tetap semangat menghadapi
hari ini serta hari esok. Sedangkan dirinya? Tidak sama sekali. Baginya,
rutinitas ini adalah beban.
Tugas pertama selesai. Pekerjaan
berikutnya adalah menulis tanggal dan hari di buku penjualan mereka. Untuk
sebuah toko merchandise yang cukup
besar, menggunakan buku kas sebagai media untuk menuliskan pemasukan serta
pengeluaran pada hari itu sangatlah tidak kekinian. Berikutnya, ia meneruskan
pekerjaan yang belum usai dikerjakan kemarin malam pada saat lembur. Pekerjaan
A, B dan C telah selesai. Pekerjaan berikutnya bersiap menyambutnya. Sungguh
melelahkan.
Untungnya hari ini, pekerjaan sudah
kelar semua. Ia dan rekan kerjanya bersiap-siap untuk pamit kepada si bos dan pulang ke
rumah masing-masing. Setiap pulang temannya dijemput oleh kekasihnya. Sementara
itu, ia harus menunggu angkot yang lumayan langka tujuan kos-kosannya. Sore
ini, hampir setengah jam sudah menunggu angkot yang tak kunjung datang.
Sedangkan temannya masih menunggu kekasihnya pulang dari tempatnya bekerja. Barulah
sesudahnya menjemput temannya tersebut.
“Dek, angkot Kakak udah ada nih.
Kakak balik duluan ya. Titip salam sama pacarnya. Kata kak Gita, jangan
lama-lama kali jemput Mitanya.”
“Haha baik, Kak. Nanti disampaikan.
Hati-hati Kakak ya. Jangan main hp di angkot Kak. Bahaya.”
“Halah udah kayak si bos nasihatnya.
Siap, laksanakan!”
Kini Angkot yang tengah membawanya
tak bisa melesat laju. Sore adalah jam-jam sibuk di mana semua orang juga pulang dari tempat
mereka bekerja. Mau tak mau harus ada yang kalah atau menang. Deretan lampu
merah serta suara klakson yang riuh sudah menjadi makanannya sehari-hari.
Lagi-lagi ketika di angkot, ia mencoba untuk menutupkan matanya sejenak, rasa
kantuk yang menimpanya sudah tak tertahankan sedari tadi siang.
Azan magrib telah berkumandang. Dan dirinya baru saja tiba di persimpangan gang tempat kos-kosannya. Lantas, ia
mencoba berjalan cepat, agar dapat melaksanakan salat magrib tepat waktu.
Salah satu hal yang dibencinya ketika bekerja shift pagi adalah, ia terlampau sering pulang menjelang magrib. Sementara
jarak tempatnya bekerja cukup jauh. Tak lama berselang, tibalah ia di
depan kosannya. Gita berjalan masuk ke dalam rumah, dan sesegera mungkin mencampakkan
flat shoes yang ia pakai sejak pagi. (❤ YD)
Ceritamu ini kan? 😄
ReplyDeleteHaha tau aja yo 😅
Delete