Bertamu, lalu Bertemu dengannya

Jambi, 23 Februari 2020

Sejauh ini, masih ini yang terjauh
Teramat sebentar bertemu dengannya
Teramat terasa perjuangan ke sana
Dan terakhir, teramat baik nian untuk ibu dan bapak 
yang baru dan berasa sudah kenal lama
Terima kasih Jambi :)

Setelah ujian selesai dengan hasil yang sedikit memuaskan. Ia kembali diantar pulang oleh bapak temannya. Dibonceng dengan sepeda motor berplat BH. Sepanjang perjalanan menuju pulang ke rumah ia dan bapak ditemani hujan yang tidak begitu deras. Tetapi, berhasil membuat tunik putih dan rok hitam plisket yang ia kenakan di saat itu menjadi basah. Dikarenakan tidak memakai jas hujan. Setibanya di rumah, ia langsung mengembalikan helm yang ia gunakan dan tak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada bapak yang sejak tadi pagi sudah mengantar lalu menjemputnya dari lokasi ujian. Bapak kembali harus melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujian, sebab istrinya masih menunggu di sana.
“Pak, terima kasih banyak, ya.”
“Iya, Ya. Nanti kunci rumah ini kasihkan dengan anak Bapak, ya. Katanya dia tadi manjat untuk masuk ke rumah.” Bapak pun tersenyum.
“Haha iya, Pak. Saya masuk duluan ya, Pak.” Ia pergi meninggalkan bapak.
Ketika tiba di depan rumah, ia langsung membuka pintu tersebut dengan kunci yang telah bapak titipkan kepadanya. Sesampainya di sana, didapatinya temannya tersebut yang tengah bergoler. Mungkin ia sedang capek. Sebab ia baru saja tiba di rumah pagi ini. Setelah belasan jam berada dalam perjalanan dari Padang menuju Jambi. Dengan sedikit canggung, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada temannya. Berharap ketika menanyakan hal tersebut temannya dapat terbangun dari tidurnya.
“Hai. Abang masuk dari mana? Kan kunci rumahnya masih sama kami.”
“Manjatlah dari atas.”
“Haha, iya-iya. Ini kali kedua ya melakukan atraksi semacam ini, demi dapat masuk ke dalam rumah.”
            “Iya. Gimana hasil ujiannya? Lulus, kan?
“Alhamdulillah lulus dengan skor pas-pas makanlah. Sepertinya buat melaju ke tahap berikutnya agak berat sih.”
            “Lah, kenapa gitu?”
“Soalnya ada satu orang cowok yang satu jurusan dan ngambil di sekolah yang sama, skornya beliau jauh lebih tinggi di atas saya. Sedih.”
            “Ya sudahlah nggak usah sedih. Yang penting sudah berusaha.”
            “Iya-iya.”
Percakapan sesaat kembali terhenti di antara keduanya. Entah karena sudah kehabisan topik atau karena mereka berdua yang terlalu malu untuk bertukar cerita. Ini adalah pertemuan untuk yang kesekian kalinya di antara mereka setelah ratusan hari dipisahkan oleh jarak dan waktu. Dipisahkan oleh ribuan kilometer, lebih tepatnya 1.098 km. Jarak Jambi dan Medan kian terasa menakutkan baginya. Kami memutuskan untuk menjalani 'long distance relationship aka lelah disiksa rindu' setelah perkuliahan profesi selesai. Sesaat di sana, tak ada kata-kata pun juga kalimat lebih yang ia ucapkan kepada temannya. Ia hanya terdiam dan sesekali memperhatikan temannya.
“Seperti mimpi, bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata benar ya, dia makin gemuk sekarang. Eh tapi, semesta selalu punya rencana yang indah untuk mempertemukan kami.” Dan ia pun tersenyum.
Seketika beragam pertanyaan muncul di kepalanya di saat melihat temannya. Tetapi, ia malu untuk mengungkapkan kalimat-kalimat itu kepadanya. Ia selalu saja menjadi kaku bahkan canggung di saat harus berhadapan secara langsung dengannya. Padahal ini adalah momen yang ia tunggu setelah terakhir kali bertemu dengannya pada pertengahan Desember tahun 2018 silam. Tak terkecuali temannya tersebut, temannya juga memilih untuk lebih banyak diam ketika bertemu dengannya.
Sesaat kemudian, ibu dan bapak tiba di rumah dengan pakaian yang sedikit basah dikarenakan hujan yang sedang turun di sana. Ia merasa bersyukur dapat dipertemukan dengan ibu dan bapak yang begitu baik dengannya. Terkadang ia masih saja merasa segan ketika harus bercerita banyak kepada mereka. Padahal ibu dan bapak selalu mengingatkannya untuk menganggap mereka sebagai orang tuanya sendiri. Begitu pun ketika berada di rumah. Mereka sering bilang jangan sungkan di rumah ini. Anggap saja sebagai rumah sendiri.
Kini di rumah sudah lengkap. Ada ia, ibu, bapak dan temannya tersebut. Maka makin menjadi-jadilah rasa canggung yang ia miliki. Sesekali ibu dan bapak menyodorkan ia beberapa pertanyaan yang cukup membuatnya merasa sedikit kikuk berada di sana. Ia memang terlampau pemalu ketika harus dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Bapak memberikannya nasihat, terlebih lagi di saat bapak tahu bahwa peluang ia untuk melaju ke tahap berikutnya sangat kecil.
“Kalau sudah rezekinya memang di sana, pasti akan dapat juga, Ya. Biar gimanapun sulitnya. Mau lima menit terakhir masih banyak belum dijawab soalnya. Pasti ada saja nanti jalannya buat ke sana. Tapi, kalau memang belum rezekinya di sana nih, semampu apa pun seseorang jawab soal-soal itu, entar ada saja jalan yang nggak bisa bawa dia ke sana. Intinya yang penting kita terus usaha dan doa. Masalah hasil akhirnya nanti seperti apa, kita serahkan saja kepada-Nya. Enggak usah sedih-sedih lagi, Ya.” Bapak pun tersenyum kepadanya.
“Hmm, iya, Pak. Terima kasih untuk nasihatnya.” Ia membalas senyuman Bapak.
“Nah, gitulah senyum. Jadi, sekarang mau jalan ke mana kalian berdua? Mumpung lagi di sini orangnya.” Ujar bapak yang begitu semangat.
“Enggak tahu nih Pak mau ke mana. Toh saya juga enggak kenal sama sekali daerah sini. Ngikut saja deh, Pak. Hehe.”
“Syd, ajaklah jalan ke mana gitu. Jangan di rumah terus. Gimananya.” Ungkap ibu.
“Iya Mak, ini mau jalan ke luar. Tapi, mau ke mana ya? Makan saja kita, mau, kan?”
“Ngikut saja, Bang.”
“Oke. Pak, pinjam kunci motor sebentar. Kami mau makan tekwan dulu di luar.”
“Iya itu ambil di atas meja kuncinya.”
      Kami pun pamit kepada bapak dan ibu untuk pergi keluar sebentar. Dengan mengenakan baju kaos raglan merah maroon, rok plisket hitam dan sandal jepit swallow yang baru dibelinya kemarin. Sementara temannya mengenakan seragam olahraga yang berwarna hijau tosca dan abu beserta dengan nama sekolahnya yang terbordir cukup rapi di dada baju sebelah kanan. Kami berdua siap untuk pergi dan makan di luar.
Sepanjang perjalanan di atas motor, kami sesekali bercerita menanyakan sesuatu apa yang bisa ditanyakan. Meskipun ia tahu pertanyaan yang diajukan ketika sedang berkendaraan di jalanan selalu saja menjadi enggak jelas. Dikarenakan jalanan yang ribut. Sementara, ia hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan kata ‘iya dan iya.’ Itulah salah satu alasan kenapa ia sering kali tidak suka di saat seseorang bercerita di atas motor. Ia selalu saja menjadi pura-pura tuli di sana. Ingin rasanya untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi, ia segan. Jikalau pun dijawab, toh ia tidak begitu mendengar secara jelas pertanyaan-pertanyaan dari temannya. Ribet banget, ya.
Sesampainya di lokasi. Masing-masing dari kami memesan makanan. Ia memesan tekwan dengan mi putih begitu pun juga dengan temannya.
“Dekat ya tempat makannya. Tau gitu tadi ngapain naik motor ke sini.”
“Iya dekat. Lah, jadi, jalan gitu ke sini?”
“Iyalah jalan. Dekat juga kok.”
“Ah nggaklah. Abang itu kalau di sini, ke mana-mana naik motor.”
“Iya deh iya.”
Tekwan yang mereka pesan akhirnya telah tiba di meja masing-masing. Aroma dari kuah tekwan yang begitu menggugah selera membuatnya sungguh tidak sabar untuk segera mencicipinya. Untuk pertama kalinya ia melihat tekwan secara langsung di depan matanya. Biasanya ia hanya melihat tekwan dari gambar yang dikirimkan oleh temannya ketika sedang menyantap tekwan tersebut.
“Ini ya namanya tekwan? Bentuknya kok tidak beraturan gini ya? Haha.”
“Iya, eleh. Sebelum dikasih saus dan kecap, cobain deh kuahnya! Segar loh.
“Oh iyanya? Eh btw, ini yang panjang-panjang apa? Bawang Bombai ya?”
“Bukan. Itu bengkuang yang diiris tipis. Gimana, enak, kan?”
“Haaah Bengkuang? Aneh banget ya. Butso far enak sih. Kuahnya segar.”
“Iya. Ini tuh sejenis kayak bakso ikan gitulah.”
Sesekali mereka berbincang-bincang ketika sedang menyantap tekwan. Dan tanpa disadari tekwan yang mereka makan telah habi. Setelah selesai makan, mereka memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Sesampainya di rumah. Kembali lagi mereka diberikan pertanyaan oleh ibu dan bapak.
“Kok cepat kali kalian baliknya?”
“Iya Bu, tadi kami cuma makan tekwan di depan lorong.”
            “Terus sekarang mau ke mana lagi? Nggak mau jalan-jalan lagi kalian? Ke mana gitu jalannya.”
            “Saya ngikut saja, Bu.”
            “Jalan-jalan ke jembatan Gentala Arasy mau nggak?’’
            “Boleh. Mau lihat sepanjang apa sih jembatannya.”
          “Oke. Kalau gitu Abang ganti celana dulu, ya. Kan nggak mungkin ke sana pakai celana training.”
             “Baiklah. Ini harus kali, ya, ke sana pakai sepatu? Saya pakai sandal jepit saja, ya?”
          “Iya haruslah pakai sepatu. Eh tapi, nggak pakai sandal jepit jugalah ke sananya. Itu pakai sandal Mamak Abang saja.”
            “Sandal ini? Ah nggaklah. Malu. Entar kayak emak-emak pula.”
            “Sudahlah pakai saja. Nggak usah bandel.”
            “Hmm, iya-iya.’’
           Setelah melalui perjalanan selama lima belas menit dari rumah, akhirnya kami berdua tiba di lokasi. Hal yang pertama kali ia ucapkan ketika berada di sana adalah
            “Waaah, keren juga ya, jembatannya.”
Jembatan ini khusus dibuat untuk para pejalan kaki yang diberi nama Titian Arasy. Kata temannya, jembatan ini memiliki panjang 530 m. Di mana di seberang jembatan terdapat sebuah perkampungan dan mereka menyebutnya dengan nama 'daerah seberang.' Sepanjang perjalanan di jembatan, ia serasa bak seorang turis domestik, di mana ada seorang tour guide yang sedang menceritakan berbagai sejarah yang ada di sana. Temannya bercerita banyak tentang jembatan itu, termasuk bercerita tentang di ujung jembatan ada sebuah museum yang berisi peninggalan benda-benda bersejarah. Hanya saja temannya sendiri belum pernah masuk ke dalam museum. Katanya, tidak begitu tertarik buat masuk ke dalam. 
           Sekarang saatnya berjalan berbalik arah dari jembatan, yakni berjalan menuju arah pulang.

“Ayo kita foto selfie! Oleh-oleh untuk omak nih fotonya nanti.’’
            “Halah gaya kali ya. Wefie loh lebih tepatnya. Tapi, Abang yang pegang handphone-nya, ya? Nanti lebar kali muka saya di foto, kalau saya yang ngambil." Ia pun tertawa.
            "Iya-iya, 1 2 3 smileee. Laginya?”
            “Iya sekali lagilah. Jelek foto barusan. Haha.”
           “Iya deh iya. 1 2 3 senyuuum. Oke selesai. Nggak mau foto sendirian? Biar Abang yang fotoin.”
            “Oh bolehlah. Tapi, saya nggak mau lihat kamera. Eh sudahnya? Kok lama sih?’’
        “Astaga, sabaaar. Sudah nih. Tapi, nggak tahu ya hasilnya bagus atau tidak. Abang nggak terlalu pandai ngambil gambar.’’
          “Ah sudahlah. Nggak penting juga itu. Btw, terima kasih ya, Bang.’’ Sembari senyum sok manis :")
            “Iya, sama-sama.”
       Sepanjang perjalanan menuju pulang ke rumah, kami berdua hanya terdiam tanpa berkata-kata sedikit pun. Mungkin kami sedikit lelah atau kami kembali menjadi canggung. Setibanya di rumah, ia bersiap-siap untuk membereskan barang-barangnya dikarenakan ia harus pulang sore ini juga ke Medan. Ia tidak mau terlalu lama merepotkan kedua orang tua temannya. Sebab bapak sudah dua hari libur dari pekerjaannya karena menemaninya selama beberapa hari di sini. Selain itu, temannya juga harus balik lagi ke tempatnya mengajar. Dikarenakan masih ada berbagai pekerjaan yang harus diselesaikan sesegera mungkin. Abdi negara sesibuk itu ya ternyata.
           *****
      Setelah selesai membereskan barang-barangnya beserta dengan hal-hal yang bisa dibicarakan di sana perihal hubungannya dengan salah satu makhluk-Nya. Ia memutuskan untuk pamit pulang ke Medan kepada ibu dan bapak yang sudah dengan baik menerimanya selama beberapa hari di Jambi. Ia menyalami kedua tangan orang tua temannya. Sebenarnya ia ingin sekali memeluk ibu temannya. Dan lagi, karena rasa segan dan canggung yang ia miliki begitu besar, akhirnya ia mengurungkan niat tersebut. Ibu mengantarnya sampai ke depan pintu rumah, sementara bapak mengantarnya sampai ke depan lorong. Ya, bapak memang selalu baik dengannya pun juga dengan ibu.
         “Bu, Pak, saya izin pamit pulang ke Medan, ya. Terima kasih untuk semua kebaikan yang telah diberikan selama beberapa hari di sini. Maaf, jika saya merepotkan Ibu dan Bapak terus selama di Jambi. Semoga Ibu dan Bapak selalu sehat ya.       
          “Iya, Ya. Hati-hati di jalan. Nanti kalau sudah sampai di rumah, kasih kabar ke kami ya.”
            “Siap, Bu, Pak. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
            “Wa’alaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh.”
         Ia diantar pulang menuju loket oleh temannya dengan berbagai barang seperti; tas ransel, kotak yang berisi oleh-oleh, goodie bag  biru yang berisi flat shoes hitam, snack, air mineral, permen dan pouch maroon. Sepanjang perjalanan menuju loket, ia hanya terdiam tanpa berkata-kata sedikit pun. Lagi, perjalanan kali ini diwarnai dengan hujan yang perlahan-lahan mulai turun. Kejadian ini kembali mengingatkannya akan peristiwa pada bulan Juni 2018 semasa perkuliahan profesi. Sepulang dari Brastagi, hujan turun dengan derasnya. Kenangan terkadang memang selalu manis untuk diingat, terlebih lagi jika itu dengannya.
            “Hujan deras nih. Mau berhenti berteduh dulu atau lanjut terus kita?”
            “Sudah telanjur basah juga. Jadinya, lanjut sajalah. Entar kalau berhenti, makin lama saya pulangnya.”
            “Oh okelah. Inilah gunanya kita punya mobil, ya, kan?”
            “Hiyah-hiyah.”
      Setibanya di loket bus, ia langsung memesan tiket tujuan Medan. Kali ini ia pulang dengan bus tipe royal executive. Jadwal keberangkatan bus pukul 15.00 WIB, dan ia tiba di loket sekitar setengah jam sebelum bus berangkat. Sembari menunggu kernet bus yang masih mengurus barang-barang penumpang untuk dimasukkan ke dalam bagasi tak terkecuali ransel dan kotaknya. Ia dan temannya memilih untuk duduk di kursi yang disediakan oleh pihak loket. Lagi-lagi kami terdiam. Jikalau pun berbicara hanya sekadarnya saja. Padahal ia ingin sekali bercerita banyak dengan temannya. Tetapi, lidahnya terlalu kelu untuk mengutarakan kalimat-kalimat tersebut.
         Para penumpang bersiap-siap untuk masuk ke dalam bus, sebab jadwal keberangkatan telah tiba. Sebelum naik dan masuk ke dalam bus, ia menyalami tangan temannya. Layaknya salam seorang anak kepada ayahnya. Yang mana si anak akan berangkat kembali berjuang di perantauan. Haru dan sedih sekali ketika bersalaman dengannya. Dadanya senak dan ingin sekali rasanya menangis. Namun, terlalu malu untuk menangis di depan temannya. Ia tidak ingin dibilang cengeng untuk yang kesekian kalinya.
       “Saya izin pamit pulang ke Medan, ya. Sampai jumpa lagi, Abang.” Dengan air muka yang memperlihatkan perasaan sedih.”
          “Iya. Hati-hati di jalan. Dijaga barang-barangnya jangan sampai ada yang ketinggalan. Oh ya, nanti kalau singgah berhenti makan dimanapun, kabarin Abang, ya."
            “Siap, Bang. Terima kasih, ya. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
            “Wa’alaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh.”

        Sekarang dirinya telah duduk di kursi yang bernomor 25 sesuai dengan yang tertera di tiket bus. Di dalam bus, ia melihat temannya yang masih menunggunya di loket. Ia pun melambaikan tangan kepada temannya dan tersenyum. Temannya kembali melambaikan tangannya serta tersenyum kepadanya. Melihat senyuman itu, rasanya ia semakin tidak ingin jauh darinya. Hanya saja jarak dan waktu belum sepenuhnya berpihak dengan kami untuk saat ini. Bus kini telah berangkat dan perlahan-lahan meninggalkan kota Jambi dengan segala kenangannya yang teramat singkat. Tetapi, terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja.
         Seketika air matanya tumpah, mengingat semua yang telah ia lakukan selama beberapa hari di sini. Bertemu dengan banyak orang baik. Ujian dengan nilai yang sedikit memuaskan, tetapi, tetap harus bersyukur apapun hasil akhir yang diperoleh nantinya. Mengingat pertemuannya yang teramat singkat dengan temannya, hanya 3 jam setelah berjarak selama 436 hari. Ah, ia memang selalu saja menjadi cengeng ketika dihadapkan dengan kegagalan, pun juga terlalu mahir di dalam mengingat sudah berapa lama tidak bertemu dengan temannya.
Di perjalanan menuju pulang ia hanya menangis tersedu-sedu dengan wajah yang ditutupi masker. Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi, dan ternyata ada pesan masuk di sana. Yang mana pesan itu berasal dari temannya. Pesan yang ia terima nyatanya memang terlalu singkat. Namun, isi pesannya sangat penuh makna dan berhasil membuatnya kembali menangis sejadi-jadinya.

         “Kalau belum rezekinya sekarang, mungkin dicukupkan rezeki kita untuk menikah dahulu. Allah SWT tahu apa yang terbaik yang kita butuhkan.”

          Oh ya, sebelum pulang dari jembatan Gentala Arasy ketika itu, saya sempat meminjam ponselnya untuk mengabadikan jembatan ini dalam sebuah foto. Ini, bulan Februari 2020, di kota Jambi, di sebuah jembatan yang cukup panjang bersama dengannya. ( YD)



Bang Rasyid PPG

            

Comments

Post a Comment

Popular Posts